Home » » PRODUKSI BIBIT TANAMAN ANTHURIUM, NANAS, KRISAN DAN SEMANGKA

PRODUKSI BIBIT TANAMAN ANTHURIUM, NANAS, KRISAN DAN SEMANGKA

Written By jual peralatan laboratorium on Saturday, January 4, 2014 | 9:30 PM

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyediaan bibit dalam pengembangan suatu tanaman atau dalam suatu proses produksi merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Proses produksi skala besar seperti tanaman hortikultura akan memerlukan bibit dalam jumlah besar, bibit dari varietas unggul, bebas hama dan penyakit dan penyediaan yang kontinyu. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan oleh pemulia tanaman jumlahnya sangat terbatas, sedangkan bibit dibutuhkan sangat banyak. Beberapa tanaman hortikultura banyak yang sulit diperbanyak dengan konvensional baik secara vegetatif maupun generatif, selain itu bila diperbanyak dengan cara cangkok, stek, atau penempelan memerlukan bahan tanaman yang sangat besar untuk medapatkan bibit dalam jumlah besar (Ekawati, 2008). Produksi Bibit Tanaman Hortikukultura merupakan produksi bibit dengan menggunakan teknik kultur jaringan dan teknik mikropropagasi. Kultur jaringan tanaman adalah suatu sistem perbanyakan tanaman yang diambil dari bagian tanaman yang ditanamkan dalam media buatan, dengan kondisi yang steril kemudian beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Teknik mikropropagasi adalah metode pengembangbiakan/perbanyakan tanaman yang menggunakan bagian tanaman yang berukuran sangat kecil seperti potongan organ, jaringan, sel dalam kondisi aseptik menggunakan teknik kultur in-vitro. Kelebihan teknik mikropropagasi yaitu : hanya membutuhkan jaringan atau bahan tanaman sedikit, tidak membutuhkan tempat yang luas, bebas dari patogen (cendawan dan bakteri), dapat dibebaskan dari virus, tingkat perbanyakan tinggi, dapat memproduksi tanaman yang sulit diperbanyak secara konvensional, tidak tergantung musim, stok tanaman dapat disimpan dalam waktu lama. Selain itu, mempunyai kelebihan teknik mikropropagasi juga memilki permasalahan yaitu: perlu keterampilan khusus; memerlukan fasilitas khusus; metode setiap spesies tidak sama; dan tanaman yang dihasilkan berukuran kecil (Sugito, Budiarta, Purwito, 2007). Teknik mikropropagasi pada produksi bibit tanaman hortikultura memilki berbagai metode yang dapat dilakukan yaitu : metoda multiplikasi tunas aksilar, multiplikasi tunas samping, multiplikasi melalui pembentukan tunas adventif dan multiplikasi melalui embrio somatik. Dalam mikropropagasi totipotensi dan diferensiasi merupakan dasar terjadinya morfogenesis. Totipotensi adalah sel-sel mampu berdiferensiasi pada lingkungan tertentu sedangkan dediferensiasi merupakan proses kebalikan dari diferensiasi yaitu sel-sel yang telah berdeferensiasi berubah kembali menjadi sel-sel yang tidak terdiferensiasi (sel-sel parenimatis). Praktik produksi bibit tanaman hortikultura ini diharapkan mahasiswa dapat terampil, lebih mengetahui dan memahami dengan jelas, baik dalam ilmu pengetahuan dan praktikum produksi bibit tanaman hortikultura yang dilaksanakan. 1.2 Tujuan Praktikum produksi bibit tanaman hortikultura ini diharapkan : 1. Agar mahasiswa mampu membuat media, inisiasi dan subkultur pada produksi bibit tanaman anthurium, nanas, semangka, dan krisan. 2. Untuk mengetahui pengaruh media MS1 – MS8 pada subkultur tanaman anthurium. 3. Untuk mengetahui keberhasilan inisiasi pada tanaman nanas. 4. Untuk mengetahui keberhasilan inisiasi pada jenis eksplan dengan macam bahan sterilan. 5. Untuk mengetahui keberhasilan inisiasi eksplan biji semangka. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanaman 2.1.1 Anthurium 2.1.1.1 Sekilas anthurium Anthurium merupakan tanaman hias komersial di Indonesia. Tanaman ini disukai konsumen karena keindahan warna serta variasi bunga dan daun yang beragam. Karena sifatnya yang memerlukan naungan dan tempat teduh, tanamn ini lebih tepat dijadikan tanaman hias indoor. Selain berbunga indah daunnya juga tampak unik. Kelebihan bunga anthurium antara lain kesegarannya bisa bertahan lama. Bila masih berada di negaranya, bunga bisa tetap segar selama sekitar 15 hari. Namun bila dipotong bias bertahan kurang lebih 14 hari (Budhiprawira dan Saraswati, 2007). Anthurium termasuk tanaman dari keluarga Araceae. Tanaman berdaun indah ini masih berkerabat dengan sejumlah tanaman hias populer semacam aglaonema, philodendron, keladi hias, dan alokasia. Dalam keluarga araceae, anthurium adalah genus dengan jumlah jenis terbanyak. Diperkirakan ada sekitar 1000 jenis anggota marga anthurium. Tanaman ini termasuk jenis tanaman evergreen atau tidak mengenal masa dormansi. Di alam, biasanya tanaman ini hidup secara epifit dengan menempel di batang pohon. Dapat juga hidup secara terestrial di dasar hutan. Daya tarik utama dari anthurium adalah bentuk daunnya yang indah, unik, dan bervariasi. Daun umumnya berwarna hijau tua dengan urat dan tulang daun besar dan menonjol. Sehingga membuat sosok tanaman ini tampak kekar namun tetap memancarkan keanggunan tatkala dewasa. Tidak heran bila tanaman ini memiliki kesan mewah dan eksklusif. Di masa lalu, anthurium banyak menjadi hiasan taman dan istana kerajaan-kerajaan di Jawa. Konon, dipuja sebagai tanaman para raja. Secara umum anthurium dibedakan menjadi dua yaitu jenis anthurium daun dan jenis anthurium bunga. Anthurium daun memiliki daya pikat terutama dari bentuk-bentuk daunya yang istimewa. Sedangkan anthurium bunga lebih menonjolkan keragaman bunga baik hasil hibrid maupun spesies. Biasanya jenis anthurium bunga dijadikan untuk bunga potong (Wikipedia, 2009). 2.1.1.2 Perbanyakan Anthurium Menurut Budhiprawira dan Saraswati (2007) seperti halnya keluarga Araceae yang lain, anthurium bisa diperbanyak secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan generatif yaitu dengan menggunakan biji. Biji bias diperoleh dari penyerbukan alami maupun hasil persilangan. Masing-masing varietas memiliki warna dan ukuran biji yang berbeda. Sementara perbanyakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara setek, pemisahan anakan, dan kultur jaringan. Keuntungan perbanyakan vegetatif adalah keturunannya (genersi) mempunyai sifat-sifat sama dengan induknya dan cepat menghasilkan tanaman yang berukuran besar atau menghasilkan bunga. Umumnya anthurium bunga untuk bunga potong diperbanyak dengan kultur jaringan karena dapat menghasilkan tanaman yang seragam dan kualitasnya terjamin. Secara konvesional perbanyakan anthurium dilakukan melalui biji dan pemisahan anakan. Namun hasilnya tidak bisa memenuhi permintaan konsumen dalam skala besar karena memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan biji atau anakan. Melalui biji diperlukan waktu lebih kurang 3 tahun sejak penyerbukan, biji masak, hingga tanaman remaja. Sementara pemisahan anakan memerlukan waktu antara 6-12 bulan untuk siap dipisahkan dan waktu pendewasaan (hingga tanaman siap dijual) sekitar 6-8 bulan, sehingga dengan kultur jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan alternatif pada tanaman anthurium. Melalui teknik ini, sel atau jaringan tanaman yang diisoloasi dari bagian tanaman, seperti protoplasma, sel atau sekelompok sel, yang selanjutnya disebut eksplan, dirangsang untuk membentuk tanaman utuh menggunakan media dan lingkungan tumbuh yang sesuai. Pada media aseptik yang mengandung unsur hara makro dan mikro serta zat pengatur tumbuh yang diperlukan tanaman dan eksplan tersebut akan membelah dan membentuk kalus atau organ tanaman secara langsung (tunas/akar). Selanjutnya, kalus ini akan dirangsang untuk membentuk tanaman utuh. 2.1.2 Nanas 2.1.2.1 Sekilas Tentang Nanas Nenas atau nanas atau “phineappel” bukan tanaman asli Indonesia. Berdasarkan narasumber tanaman ini berasal dari benua Amerika yaitu benua Colombus pada tahun 1493 di pulau Guadelopus tumbuh subur tumbuhan nanas, dan tahun 1502 hampar tanaman ini meluas di pantai Puerto Bello. Tanaman nanas selanjutnya berkembng meluas ke seluru dunia yang beriklim panas adalah brazilia (amerika selatan). Selanjutnya nenas masuk kewilayah Indonesia pada abad ke-15 tepatnya pada tahun 1599. Penyebaran nenas di Indonesia pada mulanya sebagai tanaman pengisi di lahan pekarangan, tetapi lamban laun meluas ke kebun lahan kering (tegalan) di seluruh wilayah nusantara (Rukmana, 2001). Menurut Rukmana (2001) prospek agrobisnis buah-buahan, khususnya nenas, sangat cerah baik di pasaran dalam negeri (domestik) maupun pasaran luar negeri (ekspor). Permintaan di pasaran dalam negeri terhadap buah nenas cenderung terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, makin baiknya pendapatan masyarakat, makin tingginya kesadaran penduduk dengan nilai gizi dari buah-buahan. Permintan pasar dunia terhadap nenas oleh beberapa negara pengimpor cukup besar. Hal ini berkaitan dengan tingkat konsumsi di beberapa negara maju cukup tinggi. Seperti pada tahun 1983 – 1985 di Amerika Utara rata-rata 10,1 kg/kapita/tahun, A.S. 9,8 kg, Kanada 10.5 kg, Eropa Barat 6.5 kg. Negrara pengimpor nenas kalengan adalah Jepang rata-rata 18.371 ton/tahun. Keguanaan nenas yang bernilai ekonomi penting adalah buahnya. Buah nenas selain di konsumsi segar juga dapat diolah berbagai macam makanan atau minuman, seperti selai, buah dalam sirop, dan lain-lain. Rasa buah nenas manis agak sampai agak masam menyegarkan, sehingga disukai oleh masyarakat luas. Selain itu juga mengandung gizi yang cukup tinggi dan lengkap. Sistem perakaran tanaman nenas sebagian tumbuh dalam tanah dan sebagiannya menyebar di permukaan tanah. Bentuk batang tanaman nenas mirip gada, berukuran cukup panjang antara 20 – 25 atau lebih, tebal dengan diameter 2,0 – 3,5 cm, ruas buku buku pendek, batang sebagai tempat melekat daun, buah, tunas, sehingga tidak kelihatan. Daun nenas tumbuh memanjang sekitar 130 – 150 cm, lebar antara 3 – 5 cm atau lebih, pinggir daun ada yang berduri dan ada yang tanpa duri, permukaan daun sebelah atas mengkilap berwarna hiajau – tua atau warna merah – tua atau bergaris merah merah kecoklatan. Bunga atau buah nenas muncul pada ujung tanaman. Bunga nenas tersusun dalam tangakai yang berukuran leratif panjang antara 7 – 15 cm atau lebih. 2.1.2.2 Perbanyakan Nanas Tanaman nenas dapat diperbanyak dengan menggunakan bibit vegetatif, seperti anakan yang tumbuh pada bagian batang di bawah tanah tunas samping yang tumbuh pada batang, tunas mahkota di atas buah, tunas yang tumbuh pada bagian tangkai buah. Pembungaan nenas dapat dipercepat dengan pemberian bahan kimia atau dengan pengasapan. Hormon asetin dapat merangsang pembungaan nenas, caranya ialah 1 gram kalsium karbit dibubuhkan pada titik tumbuh ujung tanaman atau sela-sela daun. Hormon NAA dengan kosentrasi 10 – 100 ppm juga dapat mempercepat pembungaan nenas tersebut. Hormon ini dapat mempercepat pembungaan sekaligus pematangan buah (Rukmana, 2001). 2.1.3 Krisan 2.1.3.1 Sekilas Tentang Krisan Krisan merupakan salah satu jenis bunga potong penting di dunia. Bahkan akhir-akhir ini penggunaan krisan makin bertambah, karena sering juga dijadikan tanaman hias pot. Negara produsen bunga potong dan tanaman pot di dunia adalah Belanda. Diantara 10 jenis bunga potong komersial Belanda, krisan menempati urutan kedua setelah mawar (Rukmana dan Mulyana, 2006). Krisan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain Seruni atau Bunga Emas (Golden Flower) berasal dari dataran Cina. Krisan kuning berasal dari dataran Cina, dikenal dengan Chrysanthenum indicum (kuning), C. morifolium (ungu dan pink) dan C. daisy (bulat, ponpon). Di Jepang abad ke-4 mulai membudidayakan krisan, dan tahun 797 bunga krisan dijadikan sebagai simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan dari Cina dan Jepang menyebar ke kawasan Eropa dan Perancis tahun 1795. Tahun 1808 Mr. Colvil dari Chelsa mengembangkan 8 varietas krisan di Inggris. Jenis atau varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad ke-17. Krisan masuk ke Indonesia pada tahun 1800. Sejak tahun 1940, krisan dikembangkan secara komersial. Jenis dan varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya hibrida berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Krisan yang ditanam di Indonesia terdiri atas (http://dongengdalam.blogspot.com/2007/09/bunga-krisan-menghias-harapan.html) : 1. Krisan lokal (krisan kuno): berasal dari luar negri, tetapi telah lama dan beradaptasi di Indoenesia maka dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya antara lain sifat hidup di hari netral dan siklus hidup antara 7-12 bulan dalam satu kali penanaman. Contoh C. maximum berbunga kuning banyak ditanam di Lembang dan berbunga putih di Cipanas (Cianjur). 2. Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida): Hidupnya berhari pendek dan bersifat sebagai tanaman annual. Contoh krisan ini adalah C. indicum hybr. Dark Flamingo, C. ihybr. Dolaroid, C. i. Hybr. Indianapolis (berbunga kuning) Cossa, Clingo, Fleyer (berbunga putih), Alexandra Van Zaal (berbunga merah) dan Pink Pingpong (berbunga pink). 3. Krisan produk Indonesia : Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas telah melepas varietas krisan buatan Indonesia yaitu varietas Balithi 27.108, 13.97, 27.177, 28.7 dan 30.13A. Kegunaan tanaman krisan yang utama adalah sebagai bunga hias. Manfaat lain adalah sebagai tumbuhan obat tradisional dan penghasil racun serangga. Sebagai bunga hias, krisan di Indonesia digunakan sebagai bunga pot dan bunga potong. 1.1.3.2 Perbanyakan Krisan Menurut Rukmana dan Mulyana (2007) prinsipnya perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif (biji) dan vegetatif. Perbanyakan generatif pada tanaman krisan jarang dilakukan petani, kecuali dalam lingkungan penelitian atau pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas atau kultivar baru. Tanaman krisan bersifat heterezigot (macam ragam), sehingga keturunan tanaman dari biji tidak selalu sama dengan iduknya. Disamping itu perbanyakan generatifnya membutuhkan penanganan khusus dalam waktu lama, sehingga kurang baik untuk dipraktekkan pada usaha skala komersial. Perbanyakan tanaman yang menjamin kepastian produksi adalah cara vegetatif. Keturunan tanaman dari organ vegetatif sama dengan induknya. Macam oragan vegetatif bahan perbanyakan tanaman krisan adalah anakan, stek pucuk dan kultur in-vitro (mikropopagasi) yang popular disebut kultur jaringan. Perbanyakan vegetatif dengan anakan umumnya dilakukan pada krisan lokal. Pada lingkungan penelitian telah dikembangkan teknik perbanyakan tanaman krisan secara kultur jaringan tanaman. Prinsip perbanyakan kultur jaringan adalah memotong eksplan atau jaringan tanaman berukuran kecil, kemudian ditanaman pada medium tumbuh buatan secara aseptik. Berkenaan dengan usaha komersial, teknik perbanyakan vegetatif pada tanaman krisan yang umum dipraktekkan adalah cara konvesional yaitu dengan setek pucuk. 2.1.4 Semangka 2.1.4.1 Sekilas Tentang Semangka Menurut Ashari (1995) semangka berasal dari daerah tropik dan subtropik Afrika. Tumbuh liar di tepi jalan, padang belukar, pantai laut, atau ditanam di kebun dan pekarangan sebagai tanaman buah. Semangka dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 1.000 m dpl. Tanaman semusim ini tumbuh menjalar di atas tanah atau memanjat dengan sulur-sulur atau alat pembelit. Batang lunak, bersegi dan berambut, panjangnya 1,5–5 m. Sulur tumbuh dari ketiak daun, bercabang 2–3 cabang. Daun letak berseling, bertangkai, helaian daun lebar dan berbulu, menjari, dengan ujung runcing, panjang 3–25 cm, lebar 1,5–15 cm, tepi bergelombang, kadang bergigi tidak teratur, permukaan bawah berambut rapat pada tulangnya. Bunga uniseksual, keluar dari ketiak daun, tunggal, biasanya bunga jantan lebih banyak, berbentuk lonceng lebar, warnanya kuning, mekar pada pagi hari. Buah berbentuk bola sampai bulat memanjang, besar bervariasi dengan panjang 20–30 cm, diameter 15–20 cm, dengan berat mulai dari 4 kg sampai 20 kg. Kulit buahnya tebal dan berdaging, licin, warnanya bermacam-macam seperti hijau tua, kuning agak putih, atau hijau muda bergaris-garis putih. Daging buah warnanya merah, merah muda (pink), jingga (orange), kuning, bahkan ada yang putih. Biji bentuk memanjang, pipih, warnanya hitam, putih, kuning, atau cokelat kemerahan. Ada juga yang tanpa biji (seedless). Biji yang sudah diolah disebut kuaci. Semangka selain dimakan sebagai buah segar juga dapat diminum sebagai jus. Buah semangka jangan dimakan dengan gula aren karena dapat terbentuk racun, terutama sangat mengganggu pada orang yang pencernaannya lemah. Racun ini dapat menimbulkan kejang-kejang dan diare sampai menyebabkan kematian. 2.1.4.2 Perbanyakan Semangka Fase generatif ditandai dengan keluarnya bunga. Pada fase ini tanaman memerlukan banyak unsur fospor untuk memperkuat akar dan membentuk biji pada buah. Pada fase ini apabila tanaman dalam kondisi sehat maka jaring-jaring pada buah diharapkan muncul secara merata. Untuk mendukung pertumbuhan generatif, tanaman disemprot dengan pupuk daun Complesalsuper tonic (merah) dengan konsentrasi 2 gram/liter seminggu sekali. Untuk mencegah kekurangan unsur kalsium dan boron maka tanaman disemprot dengan pupuk daun Ferti-cal dengan konsentrasi 2 ml/liter atau CaB dengan konsentrasi 2 ml/liter. Dengan metode kultur jaringan pengadaan benih secara vegetatif (Kultur Jaringan). Dengan metoda kultur jaringan, pemilihan media tanam dan sumber eksplan yang digunakan harus tepat agar memberikan hasil yang maksimal. Media dasar yang dipakai tersusun dari garam-garam berdasarkan susunan Murashige & Skoog (1962) dengan penambahan thiamin 0,04 mg/liter, myo-inositol 100 mg/liter, surkosa 30 gram/liter berbagai kombinasi hormon tanaman yang ditambahkan sesuai dengan perlakuan. Media dibuat dalam bentuk padat dengan penambahan agar bacto 8 gram/liter, pH media dibuat 5,7 dengan penambahan NaOH atau HCl 0,1 N. Sterilisasi media dilakukan dengan autoklaf bertekanan 17,5 psi, suhu 120 derajat C selama 30 menit. Tanaman yang didapat dari kultur jaringan membentuk bunga jantan dan bunga betina separti halnya tanaman yang didapat dari biji (Ashari, 1995). 2.2 Tinjauan Kultur Jaringan Metode kultur jaringan pada mulanya merupakan penelitian laboratorium sebagai bagian dari penelitian fisiologi tentang tumbuh dan berkembang (growth & develompent), yang didasari oleh teori totipotensi sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang utuh, jika kondisinya sesuai. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden pada tahun 1838 (Yusnita, 2004). Kultur jaringan secara luas didefinisikan sebagai usaha mengisolasi, menumbuhkan, memperbanyak dan meregenerasikan protoplas (bagian hidup dari sel), atau bagian tanaman seperti meristem, tunas, daun muda, batang muda, ujung akar, kepala sari, dan bakal buah dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman alternatif yang sangat efektif dan berpotensi untuk dikembangkan pada tanaman hortikultura. Awal mula diaplikasikannya teknik kultur jaringan untuk memperbanyak tanaman hortikultura adalah sekitar akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Pada waktu itu induksi kalus dan kultur tunas yang diikuti oleh regenerasinya menjadi tanaman sempurna banyak digunakan. Namun sekarang seiring dengan perkembangan yang lebih lanjut, perbanyakan tanaman hortikultura secara in-vitro dapat diinduksi melalaui pembentukan kalus, induksi tunas aksiler, induksi tunas adventif, dan somatic embryogenesis. (Kamemoto dan Kuehnle, 1996 dalam Rachmawati, 2005). 2.3 Embriogenesis Somatik Perkembangbiakan dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Cara embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagul yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat. Di samping itu, untuk mendukung program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika, penggunaan embrio somatik dapat mempercepat keberhasilan dengan peluang transformasi yang lebih tinggi karena embrio somatik dapat berasal dari satu sel somatik. Untuk penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang, embrio somatik dianggap merupakan bahan tanaman yang ideal untuk disimpan karena apabila diregenerasikan dapat membentuk bibit somatik. Selain keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan embriogenesis, yaitu peluang terjadi mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena subkultur berulang serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh. Namun demikian, variasi yang dihasilkan sering dianggap menguntungkan karena dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik (gene pool). Embriogenesis somatik merupakan suatu proses di mana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi garnet. Istilah embrio somatik pertama kali digunakan oleh Tolkin pada tahun 1964 yang menggambarkan pembentukan organisme dari suatu sel atau kumpulan sel somatik. Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embrio somatik lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar. Di samping strukturnya, tahap perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik. Secara spesifik tahap perkembangan tersebut dimulai dari fase globular, fase hati, fase torpedo, dan planlet (Gaj, 2001 dalam Purnamaningsih, 2002). Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya kadang-kadang dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer (Wiendi et al., 1991 dalam Purnamaningsih, 2002). Embriogenesis mempunyai beberapa tahap spesifik, yaitu (1) induksi sel dan kalus embriogenik, (2) pendewasan, (3) perkecambahan, dan (4) hardening. Pada tahap induksi kalus embriogenik dilakukan isolasi eksplan dan penanaman pada media tumbuh. Untuk induksi kalus embriogenik kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2,4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adedin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan, 1989 dalam Purnamaningsih, 2002). Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan auksin pada konsentrasi rendah. Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada media perkecambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan sangat rendah atau bahkan tidak diberikan sama sekali. Tahap hardening, yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke lingkungan baru di rumah kaca dengan penurunan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya. 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Embriogenesis Somatik Menurut Purnamaningsih (2002) beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan embrio somatic adalah jenis eksplan, sumber nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh. 1. Jenis Eksplan Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Hasil penelitian Vesco dan Guerra (2001) menunjukkan bahwa penggunaan embriozigotik dewasa (mature zygotic Membriogenesis/ MZE) dapat menghasilkan embrio somatik yang lebih banyak dalam waktu yang lebih cepat daripada immature zigotic embryogenesis (IZE). Sebaliknya hasil penelitian Gupta dan Crob (1995 dalam Purnamaningsih (2002) pada tanaman cemara menunjukkan bahwa penggunaan embrio zigotik muda (IZE) menghasilkan embrio somatik yang lebih banyak daripada embrio zigotik dewasa (MZE). Dari beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa eksplan yang digunakan dapat berbeda tergantung jenis tanaman dan tahap perkembangan (developmental stage) dari eksplan. 2. Sumber Nitrogen dan Gula Embriogenesis somatik mengalami proses perkembangan morfologi seperti yang terjadi pada embrio zigotik. Faktor yang penting dalam induksi danM perkembangan embryogenesis somatik adalah komposisi nutrisi pada media kul-tur. Nitrogen merupakan faktor uta-ma dalam memacu morfogenesis secara in vitro. Menurut Ammirato (1983 dalam Purnamaningsih, 2002) ) bentuk nitrogen reduksi dan beberapa asam amino seperti glutamin dan casein hidrolisat, sangat penting untuk inisiasi dan perkembanganm embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang terjadinya komunikasi di antara sel dan jaringan pada organ multiselular (Young et al., 1999 dalam Vesco dan Guerra, 2001). Untuk inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan keseimbangan yang te-pat antara NH4+ dan NO3- (Bhojwani dan Razdan, 1989). Konsentrasi NO3- yang terlalu tinggi akan meningkatkan pH media sehingga kalus tidak dapat membentuk embrio somatik. Hasil penelitian Vesco dan Guerra (2001) pada tanaman Feijoa sellowiana menunjukkan bahwa penggunaan NH4+ dan NO3– pada konsentrasi 15 : 34 dan 34 : 15 mM dengan menggunakan medium LPm dapat menghasilkan jumlah embrio somatik terbanyak/eksplan. Penambahan glutamin 4 mM meng-hasilkan induksi kalus embriogenik tertinggi. Penggunaan NO3- (49 mM) sebagai sumber N tunggal mengha-silkan jumlah embrio somatik yang rendah, tetapi ketika ke dalam me-dia ditambahkan glutamin (4 mM) maka jumlah embrio somatik meningkat hingga 5,8 kali setelah 10 minggu. Sedangkan apabila NH4+ digunakan sebagai sumber N tunggal ternyata tidak terbentuk embrio somatik, selain itu laju pertumbuhan kalus rendah dan kalus berwarna coklat. Induksi embrio somatik dipengaruhi oleh pH media kultur., Penggunaan NO3- meningkatkan pH melalui eksresi HCO3- dari eksplan, sebaliknya pemakaian NH4+ akan menurunkan pH. Dalam penelitian tersebut juga ditelitipenggunaan beberapa sumber asam amino ter-hadap pembentukan embrio soma-tik. Hasil yang diperoleh menunjuk-kan,bahwa penggunaan asparagin, glutamin dan arginin sebesar 4 mM dapat meningkatkan jumlah embrio somatik dibandingkan dengan kontrol, walaupun tidak ada perbedaan yang nyata di antara respon peng-gunaan ketiga asam amino terse-but. Menurut Lea (1993) dalam Vesco dan Guerra (2001) nitrogen yang berasal dari asam amino diasi-milasikan mdengan cepat menjadi karbon skeleton selama metabo-lisme dan digunakan untuk sintesis protein. Selain itu, asam amino dapat meningkatkan perkembangan yang sinkron (synchronous development) menjadi torpedo dan kotiledon. Selain nitrogen, gula merupakan salah satu komponen organic yang harus diberikan ke dalam media tumbuh. Gula berfungsi di samping sebagai sumber karbon, juga berguna untuk mempertahankan tekanan osmotik media. Anhazhagan dan Ganapathi (1999) melakukan penelitian tentang embryogenesis somatik dalam kultur supensi pigeonpea (Cajanus cajan). BAB 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Praktikum Produksi Bibit Tanaman Anthurium, Nanas, Krisan dan Semangka dilaksanakan pada bulan Februari 2009 – Juni 2009, setiap hari Senin dan Kamis. Praktikum ini dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Politeknik Negeri Jember. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan yaitu : laminar air flow cabinet (LAFC), autoklaf elektrik, kompor gas, botol kultur, alat diseksi (pinset, skalpel), rak dorong, petridis, erlenmayer, gelas ukur, hansprayer, lampu bunsen, gunting, kamera, beaker glass, timbangan digital, timbangan analitik, hot plate, magnetik stirrer, pH meter, kulkas, fresser, pipet tetes, pipet lurus, mikro pipet, poci ukur, mistar, alat pencuci, spatula, shaker, stopwatch, ember, sprayer, dan sendok. Bahan-bahan yang digunakan yaitu : unsur hara makro, unsur hara mikro, unsur hara besi, vitamin, zat pengatur tumbuh (ZPT), sukrosa, gula pasir, agar-agar, tisu, alkohol 96 %, alkohol 70 %, klorok, spirtus, mata pisau, eksplan bunga lili, planlet lili, bakterisida, detergen, fungisida, rifamficine, air kran, air destilata, air destilata steril, plastik wraffing, plastik penutup media, karet gelang, kertas label, spidol, korek api, tabung gas, NaOH, HCL, alumunium foil, kertas, pot, media pakis, dan kain. 4.1.2 Pembahasan Multiplikasi merupakan tahap perbanyakan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman seperti tunas, atau embrio serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya (Yusnita, 2004). Multiplikasi dilaksanakan dalam kondisi yang steril, oleh karena itu ruangan tempat kerja harus disterilisasi menggunakan alkohol 70% agar bakteri atau jamur yang menempel pada meja kerja mati. Multiplikasi dapat dilakukan dengan melihat dari beberapa komponen yaitu media sudah menipis sehingga unsur haranya sudah habis, pertumbuhan sudah memenuhi botol dan bila membutuhkan sesuai waktu yang ditentukan. Multiplikasi dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu penjarangan untuk anggrek melalui biji, pemecahan (spliting) dan pemotongan (cutting) (Sugito, 2007). Multiplikasi yang dilakukan untuk anthurium dengan cara pemecahan propagul dan tunas sampai propagul pada ujung bawah menempel. Multiplikasi dapat dilakukan secara berulang-ulang sampai dicapai jumlah propagul yang diharapkan tanpa mengorbankan kualitas tunas. Menurut Yusita (2004) multiplikasi yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu tunas seperti terjadinya vitrifikasi (suatu gejala ketidaknormalan fisiologis) dan aberasi (penyimpangan genetik). Keadaan ini terjadi karena semakin besar multiplikasi dilakukan berarti semakn sering tanaman dikondisikan dalam media yang mengandung sitokinin, sehingga daya regenerasi meningkat. Formulasi tersebut merupakan interaksi antara IBA yang merupakan golongan auksin dan BAP yang merupakan golongan Sitokinin. Menurut Yusnita (2004) sitokinan tersebut pada kultur jaringan bertujuan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas-tunas adventif. Sedangkan konsentrasi 4 ppm IBA berinteraksi untuk membentuk kalus. Kalus adalah kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus (Gunawan, 1992). Definisi kalus menurut Yusnita (2004) adalah kumpulan sel yang tidak terorganisasi dan aktif membelah diri (meristematik) yang sering terjadi karena pelukaan jaringan tanaman atau pengulturan berbagai jaringan tanaman. 4.2.2 Pembahasan Tabel 2. Menunjukkan hasil inisiasi dengan tingkat kontaminasi yang masih tinggi pada minggu pertama. Kontaminasi merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan dalam teknik kultur in vitro yaitu munculnya mikroorganisme seperti jamur atau bakteri pada permukaan eksplan atau pada media. Kontaminasi yang disebabkan oleh jamur ditandai dengan munculnya benang-benang yang berwarna putih, yang merupakan miselium jamur. Jamur dapat menginfeksi jaringan secara sistemik (secara umum tersebar di seluruh organ) sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan jaringan eksplan akan mati. Sedangkan kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri munculnya bercak-bercak putih dan pada medium terlihat agak berlendir dan bergelembung. Menurut Yusnita (2004) kontaminasi yang disebabkan oleh mikroorganisme endofitik (mikroorganisme yang hidup di dalam sel atau ruang antar sel tanaman) yang sering merupakan biota dari tanaman sumber eksplan, sulit diatasi dengan sterilisasi permukaan. Tingkat kontaminasi terjadi karena belum cocok antara bahan sterilan dengan kondisi eksplan. Menurut Sunarjono (2002) ruangan yang sudah steril dapat saja berubah menjadi tidak seril pada saat musim hujan, sehingga dapat membawa masuknya bakteri dan jamur dari luar serta dapat meningkatkan kelembaban yang akan mempercepat perkembangan mikroorganisme. Selain hal itu penyebab terjadinya kontaminasi disebabkan karena eksplan yang digunakan berasal dari (green house) yang tidak dirawat dengan baik mulai dari penyiraman, pengendalian hama dan penyakit tetapi dibiarkan begitu saja langsung di inisiasi bukan eksplan yang berasal dari teknik rejuvenasi yang diperlihara dan dirawat di green house dalam keadaan sehat dan steril. Media yang digunakan juga berpengaruh terhadap kontaminasi tersebut. Media yang digunakan yaitu media MS lengkap yang merupakan media kaya unsur hara. Santoso dan Nursandi (2002) mengemukakan bahwa semakin sederhana komponen media maka semakin rendah kemungkinan terjadinya kontamiasi. Herawan dan Hendrarti (1996) dalam Rezkita (2007) menambahkan bahwa tingkat kontaminasi juga berasal dari eksplan baik intenal maupun eksternal, air yang digunakan, botol-botol kultur atau alat-alat yang kurang steril, spora-spora yang terdapat dalam ruang kultur dan kecerobohan dalam pelaksanaan. Yunita (2004) menyebutkan bahwa untuk mengatasi masalah kontaminasi yang peristen dapat dilakukan cara-cara pencucian ulang dengan sodium hopoklorit dengan konsentrasi rendah, seperti pemutih pakaian 5 %, penggunaan media yang mengandung antibiotik, penggunaan eksplan berukuran sekecil mungkin seperti meristem dengan beberapa primordia daun dan pemotongan bagian teratas eksplan yang telah tumbuh. 4.3 Krisan 4.3.2 Pembahasan Tabel 3 dan gambar 3 menunjukan tingkat kontaminasi yang masih tinggi pada minggu pertama. Tingkat kontaminasi terjadi karena belum cocok antara bahan sterilan dengan kondisi eksplan. Kontaminasi merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan dalam teknik kultur in vitro yaitu munculnya mikroorganisme seperti jamur atau bakteri pada permukaan eksplan atau pada media. Menurut Yusnita (2004) kontaminasi yang disebabkan oleh mikroorganisme endofitik (mikroorganisme yang hidup di dalam sel atau ruang antar sel tanaman) yang sering merupakan biota dari tanaman sumber eksplan, sulit diatasi dengan sterilisasi permukaan. Sunarjono (2002) menambahkan ruangan yang sudah steril dapat saja berubah menjadi tidak seril pada saat musim hujan, sehingga dapat membawa masuknya bakteri dan jamur dari luar serta dapat meningkatkan kelembaban yang akan mempercepat perkembangan mikroorganisme. Selain hal itu penyebab terjadinya kontaminasi disebabkan karena eksplan yang digunakan berasal dari (green house) yang tidak dirawat dengan baik mulai dari penyiraman, pengendalian hama dan penyakit tetapi dibiarkan begitu saja langsung di inisiasi bukan eksplan yang berasal dari teknik rejuvenasi yang diperlihara dan dirawat di green house dalam keadaan sehat dan steril. Media yang digunakan juga berpengaruh terhadap kontaminasi tersebut. Herawan dan Hendrarti (1996) dalam Rezkita (2007) menambahkan lagi bahwa tingkat kontaminasi juga berasal dari eksplan baik intenal maupun eksternal, air yang digunakan, botol-botol kultur atau alat-alat yang kurang steril, spora-spora yang terdapat dalam ruang kultur dan kecerobohan dalam pelaksanaan. Yunita (2004) menyebutkan bahwa untuk mengatasi masalah kontaminasi yang peristen dapat dilakukan cara-cara pencucian ulang dengan sodium hopoklorit dengan konsentrasi rendah, seperti pemutih pakaian 5 %, penggunaan media yang mengandung antibiotik, penggunaan eksplan berukuran sekecil mungkin seperti meristem dengan beberapa primordia daun dan pemotongan bagian teratas eksplan yang telah tumbuh. 4.4 Semangka Tabel 4 menunjukkan data pengamatan hasil inisiasi biji semangka. Biji tersebut mulai muncul tunas pada umur 3 minggu setelah inisiasi. Media yang digunakan yaitu media MS 0. Hasil ini menunjukkan respon yang sangat bagus dimana pada umur 3 minggu sudah muncul tunas. Interaksi antara media MS dan eksplan sangat bagus. Pada hasil inisiasi semangka ini tidak terjadi kontminasi yang merupakan hasil yang paling bagus diantara tanaman hortikultura yang di ditanam dari mulai tahap 0 (inisiasi). Hal ini disebabkan karena pada saat sterilisasi menggunaak HgCl2 sebanyak 0,01 g/100 ml, selain itu eksplan yang digunakan adalah benih yang sudah ada dipasaran yang dikemas sehingga bahan penyebab kontaminasi kurang atau bahkan tidak ada. Hal ini masih perlu dilakukan pengamatan lanjutan untuk melihat pengaruh intraksi tersebut untuk melihat hasil yang maksimal dan pekerjaannya perlu dilanjutkan seperti multiplikasi, pengakaran dan aklimatisasi. DAFTAR PUSTAKA Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta: UI Press Budhiprawira, S dan D. Saraswati. 2007. Seri Agrihobi Anthurium. Jakarta: Penebar Swadaya. Ekawati, E. 2008. Mikrpropagasi Tanaman Hortiukutura. Modul PJJ (Tidak Dipublikasikan). Cianjur: PPPTK Pertanian Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. http://dongengdalam.blogspot.com/2007/09/bunga-krisan-menghias-harapan.html http://id.wikipedia.org/wiki/Anthurium Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Buletin AgroBio 5(2):51-58. Purwito, A. (Tanpa Tahun). Kultur Jaringan Tanaman. Insitut Pertanian Bogor. Bogor Rachmawati, F. 2005. Kultur Anther Anthurium. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Rezkita, S. 2007. Teknik Perbanyakan Tanaman Pulai (Alstonia scholaris R. Brown) dengan Eksplan Pucuk Aksilar melalui Kultur Jaringan Di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (P3HT) Kaliurang, Jogjakarta. Jogjakarta: Skripsi Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Rukmana, R. (2001). Nenas Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakart: Kanisius Rukmana, R dan A.S. Mulyana. 2006. Krisan. Yogyakarta: Kanisius Sugito, H. 2007. Kultur Jaringan Tanaman. Bahan Kuliah (Tidak dipublikasikan) Cianjur: PPPPTK Pertanian.. Yusnita. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka.

0 comments:

Post a Comment