BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyediaan bibit dalam pengembangan suatu tanaman atau dalam suatu proses
produksi merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Proses produksi skala
besar seperti tanaman hortikultura akan memerlukan bibit dalam jumlah besar,
bibit dari varietas unggul, bebas hama
dan penyakit dan penyediaan yang kontinyu. Bibit dari suatu varietas unggul
yang dihasilkan oleh pemulia tanaman jumlahnya sangat terbatas, sedangkan bibit
dibutuhkan sangat banyak. Beberapa tanaman perekbunan banyak yang sulit
diperbanyak dengan konvensional baik secara vegetatif maupun generatif, selain
itu bila diperbanyak dengan cara cangkok, stek, atau penempelan memerlukan
bahan tanaman yang sangat besar untuk medapatkan bibit dalam jumlah besar (Ekawati,
2008).
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga
berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber
pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar
berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa
terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan
nilai sebesar US $ 701 juta.
Perkebunan kakao Indonesia
mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2002,
areal perkebunan kakao Indonesia
tercatat seluas 914.051 ha dimana sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat
dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta.
Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak
dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh
perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Indonesia
sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia, apabila
berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan
agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih
memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao yaitu lebih
dari 6,2 juta ha terutama di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Tangah
Maluku dan Sulawesi Tenggara. Disamping itu kebun yang telah di bangun masih
berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas rata-rata
saat ini kurang dari 50% potensinya. Di sisi lain situasi perkakaoan dunia
beberapa tahun terakhir sering mengalami defisit, sehingga harga kakao dunia
stabil pada tingkat yang tinggi. Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik
untuk segera dimanfaatkan. Upaya peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang
stratigis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan
pasar domestik masih belum tergarap.
Dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif stabil dan
cukup tinggi maka perluasan areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan akan terus
berlanjut dan hal ini perlu mendapat dukungan agar kebun yang berhasil dibangun
dapat memberikan produktivitas yang tinggi. Melalui berbagai upaya perbaikan
dan perluasan maka areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2010
diperkirakan mencapai 1,1 juta ha dan diharapkan mampu menghasilkan produksi
730 ribu ton/tahun biji kakao. Pada tahun 2025, sasaran untuk menjadi produsen
utama kakao dunia bisa menjadi kenyataan karena pada tahun tersebut total areal
perkebunan kakao Indonesia
diperkirakan mencapai 1,35 juta ha dan mampu menghasilkan 1,3 juta ton/tahun
biji kakao.
Untuk mencapai sasaran produksi tersebut diperlukan investasi
sebesar Rp 16,72 triliun dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan
iklim usaha yang kondusif. Dana investasi tersebut sebagian besar bersumber
dari masyarakat karena pengembangan kakao selama ini umumnya dilakukan secara
swadaya oleh petani. Dana pemerintah diharapkan dapat berperan dalam memberikan
pelayanan yang baik dan dukungan fasilitas yang tidak bisa ditanggulangi petani
seperti biaya penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasaran jalan
dan telekomunikasi, dukungan gerakan pengendalian hama PBK secara nasional,
dukungan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan industri hilir.
Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat dibutuhkan dalam
pengembangan agribisnis kakao 5 sampai 20 tahun ke depan antara lain:
Penghapusan PPN dan berbagai pungutan, aktif mengatasi hambatan ekspor dan
melakukan lobi untuk menghapuskan potangan harga, mendukung upaya pengendalian
hama PBK dan perbaikan mutu produksi serta menyediakan fasilitas pendukungnya
secara memadai http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4kakao.
Oleh kerena itu pada produksi bibit
kako ini dilakukan secara kultur jaringan. Salah satu keunggulan dari teknologi
kultur jaringan ini dapat menghasilkan bibit tanaman yang seragam dalam jumlah
banyak dan waktu yang singkat. Hasilnya juga memiliki karakteristik tertentu
yang menguntungkan, seperti tahan hama penggerek buah kakao (PBK), produksi
tinggi dengan kandungan lemak tinggi. Dengan demikian kata Maulidin, dapat
dikembangkan dalam skala besar untuk menghasilkan produksi dalam bentuk biji
kakao. http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Sulawesi%20Tengah&id=35306.
Praktik produksi bibit tanaman kakao ini diharapkan mahasiswa dapat
terampil, lebih mengetahui dan memahami dengan jelas, baik dalam ilmu
pengetahuan dan praktikum produksi bibit tanaman kakao yang dilaksanakan.
1.2 Tujuan
Praktikum produksi bibit tanaman kakao ini diharapkan :
1. Agar
mahasiswa mampu membuat media, inisiasi dan multiplikasi pada produksi bibit
tanaman kakao
2. Agar
mahasiswa mampu memproduksi bibit tanaman kakao melalui kultur jaringan.
BAB 2. BAHAN DAN METODE
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum produksi bibit tanaman kakao pada bulan Juli 2009 – Oktober 2009,
hari Selasa dan Rabu. Praktikum ini
dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Politeknik Negeri Jember.
2.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan yaitu : laminar
air flow cabinet (LAFC), autoklaf elektrik, kompor gas, botol kultur, alat
diseksi (pinset, skalpel), rak dorong, petridis, erlenmayer, gelas ukur, hansprayer, lampu bunsen, gunting,
kamera, beaker glass, timbangan digital, timbangan analitik, hot plate,
magnetik stirrer, pH meter, kulkas, fresser, pipet tetes, pipet lurus, mikro
pipet, poci ukur, mistar, alat pencuci, spatula, shaker, stopwatch, ember,
sprayer, dan sendok.
Bahan-bahan yang digunakan yaitu :
unsur hara makro, unsur hara mikro, unsur hara besi, vitamin, zat pengatur
tumbuh (ZPT), sukrosa, gula pasir, agar-agar, tisu, alkohol 96 %, alkohol 70 %,
klorok, spirtus, mata pisau, eksplan bunga lili, planlet lili, bakterisida,
detergen, fungisida, air kran, air destilata, air destilata steril, plastik wraffing, plastik penutup media, karet
gelang, kertas label, spidol, korek api, tabung gas, NaOH, HCL, alumunium foil,
kertas, pot, media pakis, pasir steril, kantong polibag, dan kain.
2.3 Metode Praktikum
2.3.1
Pembuatan media
Pembuatan media tanam dalam perbanyakan tanaman dengan metode teknik
kultur in vitro merupakan kegiatan
yang paling penting dan memerlukan ketelitian serta pemahaman yang jelas dalam
proses pembuatannya.
Pembuatan media kultur dimulai
dari sterilisasi botol kultur. Botol kultur yang akan digunakan dalam pembuatan
media sebelumnya dicuci dengan menggunakan detergen dan dibilas di air mengalir
sampai bersih. Botol setelah dicuci kemudian di keringkan, lalu disterilisasi
dalam oven. Tahap selanjutnya adalah pembuatan larutan stok hara makro, mikro,
vitamin dan zat pengatur tumbuh.
Media yang digunakan yaitu
komposisi media MS (Murashige dan Skoog). Komposisi media MS terdiri dari unsur
hara makro, mikro, Fe (Besi), vitamin dan ZPT.
Media yang digunakan untuk inisiasi staminodia kakao yaitu MS + 2 ppm 2,4-D
+ 0,1 mg adenine sulfat + 0,5 mg arang aktif, dan media yang digunakan
untuk inisiasi embriozigotik kakao yaitu MS + 3 ppm IBA + 2 ppm KINETIN + air
kelapa 10 %.
Pembuatan media kultur
selanjutnya yaitu penyiapan alat dan bahan, serta pelabelan nama media pada
botol. Air akuades dimasukkan ± 300 ml pada erlenmayer, kemudian larutan stok
makro, mikro, vitamin, dan ZPT dimasukkan juga ke dalam erlenmayer sesuai
dengan pengambilan pada masing-masing larutan stok. Sukrosa dan agar ditimbang
masing-masing sebanyak 30 gram/ liter dan 7 gram/liter agar-agar. Sukrosa
kemudian dimasukkan ke dalam erlenmayer lalu diaduk sampai homogen pada hotplate menggunakan magnetik stirrer. Larutan media kemudian
ditera dengan air akuadesi ¾ larutan media (1 liter). Setelah itu ukur pH
larutan sekitar 5,8, apabila lebih dari 5,8 maka harus ditambahan HCl dan
apabila kurang dari 5,8 harus ditambahkan NaOH sedikit-sedikit sampai mencapai
pH 5,8. masukkan agar-agar lalu media ditera dengan air destilata lagi sampai
1000 ml kemudian dituangkan pada wajan. Larutan media dimasak pada kompor gas
sambil diaduk sampai agar-agar homogen dan mendidih ditandai dengan larutan
berwarna jernih. Media dituangkan pada botol kultur ± 30 ml/botol. Botol
tersebut kemudian ditutup dengan alumunium foil. Media kemudian disterilisasi
dalam autoklaf elektrik pada tekanan 1,5 MPa, suhu 121oC selama 20
menit dan disimpan di ruang media pada suhu ruangan yaitu 26 – 28oC.
2.3.2
Inisiasi staminodia kakao
Prosedur inisiasi daun kakao adalah sebagai berikut :
1.
Kuncup bunga dipanen pada pagi hari
2. Sterilisasi
kuncup bunga dengan larutan klorok 5 % selama 10 menit kemudian dibilas dengan akuades steril 3 x @ 5 menit
3. Eksplan ditiriskan dan disimpan diatas
petridis steril
4. Potong 1/3 bagian pangkal bunga secara
cermat dan steril
5. Inokulasi bagian staminodia dan petal
secara terpisah
6. Inkubasi di ruang gelap pada suhu 25 –
30oC selama 14 hari
2.3.3
Iniasiasi embriozigotik kakao
Prosedur inisiasi anther kakao adalah sebagai berikut :
1.
Buah diambil berumur 90 – 120 hari
2.
Buah dicuci bersih di air mengalir kemudian dikupas
kulitnya
3.
Eksplan
disterilisasi di dalam laminar (laminar sudah disterilisasi) dengan cara celup
bakar dalam alkoho 96 % selama 3 x.
4.
Embrionya
diambil dari buah secara hati-hati
kemdian diinokulasi pada media embriozogotik kakao
5.
Simpan di
ruang gelap pada suhu 25 – 26oC
BAB 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Inisiasi Kakao
Table
3.1 Pengamatan Inisiasi Kakao
Tanggal Inisiasi
|
Botol
|
Keadaan Eksplan
|
28 Juli 2009
|
I
|
Kontaminasi
bakteri dan jamur
|
II
|
Kontaminasi
bakteri dan jamur
|
|
III
|
Membentuk kalus
|
|
IV
|
Kontaminasi
bakteri dan jamur
|
Keterangan
: pengamatan diambil dari data terakhir
3.1.2 Inisiasi embriozigotik kakao
Gambar
3.2. Pengamatan Inisiasi embriozigotik Kakao
Tanggal Inisiasi
|
Botol
|
Keadaan Eksplan
|
26 Agustus 2009
|
I
|
Kontaminasi
bakteri dan jamur
|
II
|
Kontaminasi
bakteri dan jamur
|
|
III
|
Eksplan membengkak
|
3.2 Pembahasan
3.2.1
Inisiasi staminodia dan embriozigotik kakao
Eksplan merupakan sumber
kontaminasi kultur disamping komponen media, faktor manusia, dan lingkungan.
Oleh karena itu eksplan harus dibersihkan dari kotoran terluar dan di
sterilisasi sebelum ditanam secara aseptik dalam media yang steril (Yusnita,
2004). Menurut Wetherell (1982) mengungkapkan hal yang sama yaitu sebelum
eksplan dipindahkan ke dalam kultur terlebih dahulu semua mikroorganisme harus
dibasmi (disterilsasi).
Pada tabel 3.1 dan 3.2 dapat
dilihat hasil pengamatan inisiasi staminodia dan embriozigotik kakao. Eksplan
staminodia dan eksplan embriozigotik mengalami kontaminasi dari penanaman
tersebut hanya sisa @ 1 eksplan yang masih bertahan. Kontaminasi ini terjadi
karena bahan sterilan tidak mampu mensterilasi dengan baik eksplan yang
dikulturkan. Kontaminasi juga bisa disebabkan oleh faktor lain, menurut
Sunarjono (2002) ruangan yang sudah steril dapat saja berubah menjadi tidak
seril pada saat musim hujan, sehingga dapat membawa masuknya bakteri dan jamur
dari luar serta dapat meningkatkan kelembaban yang akan mempercepat
perkembangan mikroorganisme. Media yang
digunakan juga berpengaruh terhadap kontaminasi tersebut. Media yang digunakan
yaitu media MS lengkap yang merupakan media kaya unsur hara. Santoso dan
Nursandi (2002) mengemukakan bahwa semakin sederhana komponen media maka
semakin rendah kemungkinan terjadinya kontamiasi. Herawan dan Hendrarti (1996)
dalam Rezkita (2007) menambahkan bahwa tingkat kontaminasi juga berasal dari
eksplan baik intenal maupun eksternal, air yang digunakan, botol-botol kultur
atau alat-alat yang kurang steril, spora-spora yang terdapat dalam ruang kultur
dan kecerobohan dalam pelaksanaan. Yunita (2004) menyebutkan bahwa untuk
mengatasi masalah kontaminasi yang peristen dapat dilakukan cara-cara pencucian
ulang dengan sodium hopoklorit dengan konsentrasi rendah, seperti pemutih
pakaian 5 %, penggunaan media yang mengandung antibiotik, penggunaan eksplan
berukuran sekecil mungkin seperti meristem dengan beberapa primordia daun dan
pemotongan bagian teratas eksplan yang telah tumbuh.
2 botol sisa dari inisiasi staminodia dan embriozigotik kakao tidak
terjadi kontaminasi eksplan memiliki pertumbuhan yang lambat, hal ini
disebabkan kerena staminodia memang sulit ntuk tumbuh. Hal ini merupakan
kendala in vitro dari kakao yaitu dari berbagai penelitian belum ditemukan
hasil yang memuaskan meristerm, dan
induksi tunas aksilar, sehingga perlu dilakukan penelitian mulai dari keadaan
eksplan, bahan sterilan dan media yang digunakan.
BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Praktikum produksi bibit
tanaman kakao dapat disimpulkan bahwa :
1.
Mahasiswa pada umumnya sudah mampu membuat media,
inisiasi dan multiplikasi secara mandiri.
2.
Keberhasilan inisiasi staminodia dan embriozigotik
masih kurang
5.2 Saran
Melihat kendala-kendala dan tingkat keberhasilan yang terjadi pada proses
produksi bibit kakao, penulis menyarankan :
1. Mahasiswa harus terus meningkatkan
keterampilan dalam kultur in vitro.
2. Perlu dilakukan penelitian terhadap bahan
sterilan dan waktu yang cocok untuk melihat keberhasilan dari produksi bibit kakao
3. Perlu dilanjutkan hasil praktikum yang
berhasil, dipelihara dengan baik sampai membentuk bibit yang siap ditanam
dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ekawati, E. 2008. Mikrpropagasi Tanaman Hortiukutura.
Modul PJJ (Tidak Dipublikasikan). Cianjur: PPPTK Pertanian
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Sulawesi%20Tengah&id=35306.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Rezkita, S. 2007. Teknik Perbanyakan Tanaman Pulai (Alstonia
scholaris R. Brown) dengan Eksplan Pucuk Aksilar melalui Kultur Jaringan Di
Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (P3HT) Kaliurang,
Jogjakarta. Jogjakarta: Skripsi Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta.
Santoso, U dan Nursandi F.
2004. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press. Malang.
Sugito, H. 2007. Kultur Jaringan Tanaman. Bahan Kuliah
(Tidak dipublikasikan) Cianjur: PPPPTK Pertanian.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman
Secara Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Wetherell, D.F.
1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara
In Vitro. Avery Publishing Group INC. Wayne, New Jersey.
Lampiran 1.
Media
MS dan Media Prekondisi
Kode Stok
|
Garam-garam
|
MS
(mg/liter)
|
½ MS
(mg/liter)
|
Media Prekondisi
|
A
|
NH4NO3
|
1650
|
825
|
-
|
KNO3
|
1900
|
950
|
-
|
|
MgSO4.7H2O
|
370
|
185
|
-
|
|
KH2PO4
|
170
|
85
|
-
|
|
H3BO3
|
6,2
|
3,1
|
-
|
|
KI
|
0,83
|
0,415
|
-
|
|
MnSO4.H2O
|
16,9
|
8,45
|
-
|
|
ZnSO4.7H2O
|
10,6
|
5,3
|
-
|
|
Na2MoO4.2H2O
|
0,25
|
0,125
|
-
|
|
CuSO4.5H2O
|
0,025
|
0,0125
|
-
|
|
CoCl2.6H2O
|
0,025
|
0,0125
|
-
|
|
B
|
CaCl2.2H2O
|
440
|
220
|
-
|
C
|
FeSO4.7H2O
|
37,3
|
18,65
|
-
|
Na2EDTA*
|
27,5
|
13,75
|
-
|
|
Vitamin
|
Mioinositol
|
100
|
50
|
-
|
Thiamine HCL
|
0.1
|
0,05
|
-
|
|
Nicotinic Acid
|
0,5
|
0,25
|
-
|
|
Pyridoxine HCL
|
0,5
|
0,25
|
-
|
|
Glycine
|
2,0
|
1,0
|
-
|
|
Sukrosa/gula
|
30
gram
|
30
gram
|
30
gram
|
|
Agar-agar
|
7
gram
|
7
gram
|
7
gram
|
|
pH
|
5,5
-5,8
|
5,5
-5,8
|
5,5
-5,8
|
Lampiran 2
Jurnal
Praktikum Produksi Bibit Tembakau, Panili, Tebu dan Kakao
No
|
Hari/ Tanggal
|
Kegiatan
|
1
|
Selasa/ 7 Juli
2009
|
Sterilisasi
alat-alat kultur jaringan
|
2
|
Kamis/ 9 Juli
2009
|
Membuat
larutan stok MS
|
3
|
Selasa/ 14
Juli 2009
|
Membuat media
MS O dan MS
|
4
|
Rabu/ 15 Juli
2009
|
Multiplikasi tembakau
dan panili
|
5
|
Rabu/ 22 juli
2009
|
Membuat media
daun tembakau, media pucuk tebu dan media panili
|
6
|
Selasa/ 28
juli 2009
|
Inisiasi
staminodia kakao
|
7
|
Rabu/ 29 Juli
2009
|
Inisiasi tebu
dan tembakau
|
8
|
Selasa/ 4
agustus 2009
|
Inisiasi
panili
|
9
|
Rabu/ 5 Agustus
2009
|
Pembuatan
media anther tembakau, tebu dan tembakau
|
10
|
Selasa/ 18
Agustus 2009
|
Inisiasi
anther tembakau, pengulangan inisiasi tebu an tembakau
|
11
|
Rabu/ 26
Agustus 2009
|
Penanaman
embriozigotik kakao
|
12
|
Selasa/ 1
september 2009
|
Pembuatan
media multiplikasi tebu
|
13
|
Rabu/ 2
September 2009
|
Pembuatan
media inisiasi panili, penanaman embriozigotik kakao
|
14
|
15 – 29
September
|
Libur idul
fitri
|
15
|
Selasa/ 6
Oktober 2009
|
Multiplikasi
Tebu
|
16
|
Rabu/ 7
oktober 2009
|
Aklimatisasi
tebu dan panili
|
17
|
Selasa/ 13
Oktober 2009
|
Multiplikasi
panili
|
18
|
Rabu/ 14
Oktober 2009
|
Pemeliharaan
dan penylaman aklimatisasi tembakau
|
19
|
Rabu/ 21
Oktober 2009
|
Pemeliharaan
dan penylaman tembakau
|
0 comments:
Post a Comment